Kamis, 26 Januari 2012

Pro Kontra Pembatasan BBM

foto dari internet
PANCOER.COM-Seiring dengan terus melonjaknya harga minyak dunia, kenaikan harga BBM dan Pembatasan BBM sepertinya menjadi pilihan terakhir pemerintah untuk mengurangi beban subsidi yang semakin besar demi menyelamatkan APBN. 
Kabar terkini, harga mi­nyak dunia naik di te­ngah berita jatuhnya persediaan minyak mentah di Amerika Serikat dan karena investor mengikuti keuntungan di pasar saham. Demikian kata analis. Kontrak utama New York, minyak mentah light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Februari, bertambah 50 sen menjadi 101,09 dolar AS per barel. Mi­nyak mentah Brent North Sea untuk pengiriman Maret naik 52 sen menjadi 111,18 dolar da­lam transaksi sore di London. Departemen Energi AS (DoE), Kamis (19/1) mengumumkan bah­wa cadangan minyak men­tah negara itu jatuh 3,4 juta barel dalam pekan yang berakhir 13 Januari. Itu mengalahkan ekspektasi pasar untuk kenaikan sebesar 2,4 juta barel, menurut analis yang disurvei oleh Dow Jones Newswires, dan menun­jukkan penguatan permintaan di negara konsumen minyak terbesar di dunia. Namun, DoE juga mengatakan bahwa ca­da­ngan bensin (BBM) melonjak 3,7 juta barel pekan lalu. Dis­tilasi, termasuk diesel dan bahan bakar pemanas, bertambah 400.000 barel.

Pemerintah mewaspadai po­tensi kembali membengkaknya realisasi anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM) akibat kekhawatiran lonjakan harga minyak dunia. Antisipasi itu muncul setelah meningkatnya ketegangan di kawasan Afrika Utara dan Timur Tengah yang merupakan negara penghasil minyak mentah dunia.
Salah satu langkah yang di­am­bil pemerintah adalah de­ngan menyiapkan cadangan risiko fiskal. Selain itu, peme­rintah juga berencana menggelar prog­ram pembatasan BBM bersubsidi, konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG), serta rencana finalisasi penyesuaian tarif listrik. Tahun ini pemerintah menetapkan kuota volume BBM bersubsidi sebanyak 37,5 juta kiloliter, sedikit berkurang dari alokasi 2011 sekitar 40 juta KL.
Rencana ini pun menuai protes dari berbagai kalangan masya­rakat termasuk mahasiswa. Bahkan demo-demo masyarakat dan mahasiswa sudah mulai bergulir di beberapa daerah di In­donesia. Para demonstran menganggap bahwa rencana kenaikan harga BBM di awal tahun ini tidak tepat dan akan lebih menyengsarakan rakyat kecil.
Pertanyaan yang bisa dimun­culkan dalam situasi ini adalah apakah masih ada “exit strategy” lainnya yang bisa dilakukan un­tuk menyelamatkan APBN se­lain menaikkan harga BBM? Upaya mencari jalan lain ini mut­lak dilakukan sebagai upaya strategis dan tepat untuk menye­lamatkan keuangan Negara (APBN) dan sekaligus menyela­matkan nasib masyarakat yang sudah semakin menderita akibat terpaan krisis ekonomi.
Bukankah Bapak presiden dan wakil presiden kita (SBY-Boe­diono) telah berkomitmen un­tuk selalu mendahulukan ke­pen­tingan rakyat daripada ke­pen­tingan-kepentingan lain­nya dan berjanji untuk men­jadikan kenaikan harga atau pem­batasan BBM sebagai alter­native ter­akhir”?. Lalu siapa la­gi yang akan peduli kepada rak­yat miskin yang tak berdaya ini jika bukan pemerintah yang me­miliki super power dalam menentukan ke­bijakan. Disini­lah keberpihakan kepada rakyat akan terlihat jelas dan diper­taruhkan.

Angka Kemiskinan dan Pengangguran
Dampak kenaikan harga BBM ini secara nyata akan mem­bebani masyarakat terutama kaum miskin dan pengangguran. Berdasarkan data BPS, dari total penduduk Indonesia sebesar 227 juta jiwa, jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan)  atau jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 29,89 juta orang (12,36%) hingga Sep­tember 2011. Angka itu memang turun 130 ribu orang (0,13%) dibandingkan Maret 2011 yang se­besar 30,02 juta orang (12,49%).Pemerintah mem­punyai ‘Pekerjaan Rumah’ (PR) krusial yang harus cepat ditun­taskan ditengah pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terus meningkat. PR itu adalah pen­duduk miskin yang jumlahnya masih jutaan orang.
Penulis menilai, menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada tahun ini lebih rea­listis dibandingkan dengan menerapkan kebijakan pem­batasan BBM yang lebih rumit. Selain rumit kebijakan pem­batasan BBM juga memiliki risiko tinggi untuk disele­weng­kan, menanggapi kebijakan pem­batasan BBM. Betapa sulit­nya mengawasi distribusi BBM bersubsidi bila pada barang sama ada disparitas harga yang begitu lebar. Kondisi ini akan mendorong sejumlah orang untuk mencari keun­tungan dengan cara illegal.
Bila harga premium bersubsidi dipertahankan Rp 4.500/liter untuk sepeda motor dan ang­kutan umum, sementara mobil pribadi dikenai harga premium tanpa subsidi maka selisih harga ini akan jadi peluang besar bagi para spekulan yang ingin me­ngeruk keuntungan secara ilegal. Penulis yakin, spekulan akan memborong premium dengan harga Rp4.500 di SPBU ke­mu­dian menjual eceran, misalnya, dengan harga Rp 6.000/liter kepada pemilik mobil pelat hitam.
Pemilik mobil tentu memilih beli BBM di pinggiran jalan dengan harga Rp6.000/liter ketimbang mengisi BBM di SPBU yang harganya lebih mahal. Kenaikan harga BBM jenis premium Rp 6.000/liter di tingkat konsumen masih bisa diterima, sebab harga BBM bersubsidi sebesar ini sudah bertahan bertahun-tahun. Ma­sya­rakat yang memiliki ken­daraan bermotor juga menik­mati per­tumbuhan ekonomi dalam be­berapa tahun terakhir ini. Ke­naikan harga BBM, pasti akan menekan beban subsidi BBM hingga puluhan triliun rupiah.

Akibat Kenaikan atau pembatasan BBM
Kenaikan harga BBM sebesar 100 persen ini akan sangat mem­beratkan sebagian masya­rakat, termasuk pengusaha-pengusaha kecil pengguna kendaraan plat hitam, sehingga dampak negatif secara ekonomi sangat luas. Karena itu, kebi­ja­kan pemerintah ini perlu di­pertanyakan dan diuji. Yang pasti, kenaikan dan pembatasan BBM akan semakin menambah beban masyarakat yang sampai saat ini masih juga menanggung beban krisis ekonomi. Kenaikan ini akan mengakibatkan efek do­mino di masyarakat, baik secara ekonomi maupun sosial-politik. Secara ekonomi, kenai­kan tersebut akan meng­akibat­kan kenaikan harga-harga dan barang jasa (inflasi), bahkan kenaikan tersebut bisa tak terkendali menyusul kenaikan atau pembatasan BBM itu. Kenaikan laju inflasi itu akan tercermin dari naiknya harga sejumlah komponen kebutuhan pokok masyarakat, berupa barang dan jasa. Secara sosial-politik kebijakan menaikkan harga ketiga komponen tersebut juga akan menimbulkan kera­wanan sosial di masyarakat. Di tengah kehidupan sosial-ekonomi yang semakin ter­himpit krisis, kebutuhan hidup semakin melambung, sementara daya beli masyarakat semakin rendah, bukan tidak mungkin masyarakat akan menunjukkan penolakan secara lebih luas dan intensif. Unjuk rasa terus-menerus akan sangat potensial menimbulkan ketidakstabilan sosial-ekonomi dan keamanan.

Tawaran Alternatif
Sebelum pemerintah menaik­kan harga atau pembatasan BBM ada beberapa hal yang harus dipikirkan secara matang. Pertama, mengkaji ulang ten­tang alasan-alasan  mendasar kenaikan  harga BBM. Termasuk di dalamnya perhitungan berapa besar angka kenaikkan harga BBM yang lebih pas sesuai de­ngan kondisi masyarakat seka­rang ini. Kedua, melakukan ka­jian mendalam terhadap pe­nyaluran hasil pengurangan subsidi BBM. Distribusi kon­pensasi yang diberikan benar-benar dirancang dengan tepat sasaran dan mengindari penye­lewengan. Ketiga, menjaga agar dampak yang ditimbulkan oleh kenaikan harga atau pembatasan BBM tidak sampai meluas jauh. Sehingga beban masyarakat tidak terlalu berat. Keempat, menjamin tersedianya kebu­tuhan BBM di masyarakat, ter­masuk dengan menindak segala pelaku penyelundupan BBM. Bila keempat hal itu dilakukan, tampaknya dampak kebijakan terkait BBM bisa diminimalisir di tingkat titik terendah.
Hal lain yang bisa dijadikan alter­native pemecahannya adalah  dengan melakukan efi­siensi anggaran di seluruh de­par­temen dan lembaga Negara lainnya.  Atau juga dengan me­­ning­katkan pendapatan pajak Negara dari berbagai sumber serta langkah-langkah strategis lainnya yang masih bisa diupayakan. Secara teoritas opsi-opsi diatas  sangat possible dilakukan oleh pemerintah, tentunya dengan kerja keras. Harus diakui, kebijakan me­naikkan harga atau pembatasan BBM merupakan dilema dan keputusan yang berat dan be­risiko bagi pemerintah. Di satu sisi, bahwa kebijakan menaikkan BBM atau pencabutan subsidi BBM harus dilakukan dan sulit dihindarkan dalam rangka pe­nyesuaian atau revisi ang­garan APBN tahun ini, tapi di sisi lain masyarakat saat ini masih ditimpa kesusahan hidup akibat krisis ekonomi yang belum juga membaik. Sehingga, masyarakat menilai momentum kenaikan harga atau pembatasan BBM tersebut kurang tepat. Bagi pemerintah pun, mengulur atau menunda waktu kenaikan harga atau pembatasan BBM berarti menambah beban pemerintah yang semakin besar.
Jika pun pemerintah benar-benar menaikkan harga BBM ini maka, persoalannya sekarang adalah bagaimana pemerintah melakukan langkah-langkah untuk mengimbangi kenaikan harga BBM akibat pencabutan subsidi tersebut. Kita ber­pen­dapat, bila harga BBM naik, maka pelayanan kepada masya­rakat harus ditingkatkan. Atau lebih dari itu, pemerintahan di­tuntut untuk menaikkan tingkat pendapatan masyarakat. Mi­salnya, dengan membuka lapangan kerja baru atau me­naik­kan upah atau gaji.
Selain itu, untuk mengurangi beban golongan masyarakat kurang mampu akibat kenaikan atau pembatasan BBM, peme­rintah diharapkan memberikan kompensasi yang diarahkan te­rutama pada program-prog­ram yang terkait langsung dengan kepentingan masyarakat miskin seperti insentif pertanian, beasiswa pendidikan, pelayanan kesehatan gratis, dan operasi pasar khusus beras untuk rakyat miskin. Besarnya kompensasi tersebut perlu dilakukan secara sistematis dengan anggaran memadai dan tepat sasaran. Pe­ngalaman masa lalu mem­beri­kan pelajaran berharga bahwa beragam kebijakan pe­me­rintah selalu diikuti penyim­pangan dalam realisasinya.  Ini point paling krusial karena menyangkut nasib warga miskin yang benar-benar tak berdaya lagi.
Penulis berharap, opsi kenai­kan harga atau pembatasan BBM benar-benar menjadi opsi terakhir dalam menye­lamatkan APBN ataupun jika terpaksa kepentingan ma­syarakat dan negara dapat di­kompromikan dengan seadil-adilnya. Jelasnya kepentingan masyarakat jangan sampai dikorbankan.  Amien              

Eko Supriatno, S.IP, M.Pd.
Dosen Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Mathla’ul Anwar Banten, Direktur Banten Religion and Culture Center (BRCR).

0 komentar:

Posting Komentar

 
bocahpancoer - amirhamzah - bahrulhaer - tajularifin,