Kamis, 26 Januari 2012

Di Ambang Perang Teluk

Perseteruan panas Iran-AS kini mengerucut serta teramat mengkhawatirkan. Berbagai jalan ke pintu dialog dan diplomasi damai nampaknya semakin sulit, bahkan cenderung semakin menuju ke lorong gelap, sempit, berliku. Penyebabnya tak lain soal proliferasi nuklir Iran, kemudian semakin mengemuka saat Iran menutup Selat Hormuz.
Akankah konflik kedua negara besar itu akan benar-benar menuju Perang Teluk (gulf war) jilid III? Hal yang sangat kita khawa­tirkan bersama apabila terjadi. Sebab jika terjadi, perang itu nanti akan menyeret negara-ne­gara sekutu dari kedua negara, misalnya, AS dengan Inggris dan negara-negara Eropa lain­nya, Iran dengan Venezuela, Russia dan negara-negara Latin Amerika.

Perang Teluk I terjadi pada 1990-1991, saat Irak masih dibawah Saddam Hussein menginvasi Kuwait, dan Kuwait disokong bantuan AS. Perang Teluk II terjadi pada 2003 saat Bush junior masih berkuasa dimana AS berhasil mengguling­kan Saddam Hussein dibawah bendera “misi pembebasan rakyat Irak” oleh AS. Tentara AS akhirnya ditarik secara penuh dibawah kendali Barrack Obama pada 18 Desember 2011.
Arsitek demokrasi AS berke­bang­saan Perancis, Alexis de Tocqueville, pernah berkata “there are two things which a democratic people will always find very difficult - to begin a war and to end it. (Democracy in America, 1831)
Apakah benar kutipan Tocque­ville yang termaktub itu dapat mengkonfirmasi, bahwa me­mang masyarakat demokratis sekalipun seperti bangsa Ame­rika Serikat (AS) sangat menyu­kai peperangan dan jika sudah perang sulit untuk meng­akhi­rinya? AS kini nampaknya me­rasa menemukan pantaran pe­rangnya, Iran. Apalagi di­masa-masa kampanye Pemilu Pre­siden AS yang akan digelar akhir 2012, isu perang menjadi sangat seksi untuk menggiring voters. 
Pertanda menuju ke arah Perang Teluk III semakin nyata. Lihat, misalnya, Inggris sebagai sekutu utama AS telah menyia­gakan kapal perang paling modern dalam jajaran angkatan lautnya, HMS Daring 45 Des­troyer untuk menyiagakan ada­nya kemungkinan terburuk konflik di Selat Hormuz.
Blok-blok politik dunia pun kini nampaknya akan kembali menuju pada 2 kekuatan besar, bukan cuma Pax-Americana tapi juga blok timur yang di­wakili Iran dan disokong Russia. Di laut hitam (black sea), mi­salnya, yang memisahkan Asia Barat dengan Eropa, pasukan elit AL Russia telah mengirim kapal tempurnya berbarengan dengan pengiriman kapal tem­pur USS George HW Bush.
Persaingan politik AS-Russia secara “de facto” boleh jadi me­mang telah berakhir paska tumbangnya komunisme di Uni Soviet pada 1989. Namun, sentimen politik yang menganga secara “de jure” antara kedua negara besar itu pada kenya­taannya tak bisa dibohongi, hingga saat ini masih dalam ketegangan yang nyata. Dalam konflik di Selat Hormuz, nam­paknya Russia berkepentingan untuk menyokong Iran melawan arogansi AS dan sekutunya.
Selat Hormuz selama ini me­mang menjadi lalu-lalang antaran minyak dunia, stabilitas harga minyak global terganggu karena sikap politik Iran menu­tup selat itu. Karena itulah, AS se­bagai sekutu utama Eropa menentang keras penutupan Selat Hormuz. Selain itu, tensi po­litik antara kedua negara selama ini memang sangat me­manas karena soal proliferasi nuklir yang tengah gencar dijajaki Iran.
AS selama ini memang ter­kesan ingin menyudahi proliferasi nuklir Iran, oleh Iran hal itu dianggap sebuah keang­kuhan. Jika AS akan menggu­nakan jalan perang dengan Iran, tentu akan mengeluarkan biaya yang mahal, bukan saja ongkos material yang menjadi perhitungan untung-rugi para kapitalis yang kebanyakan ber­sarang di negara itu, melainkan juga ongkos kemanusiaan yang bakal menjadi tumbal ke­angkuhan.
Banyak cendekia Barat yang mengecam kebijakan AS seperti bermaksud ingin mendehu­manisasi peradaban dunia melalui jalan perang. Tokoh seperti Hans Kung, seorang teolog kelahiran Jerman yang rajin menebar dan menyemai gagasan-gagasan perdamaian, juga John Pilger dan Noam Chomsky, yang keduanya se­karang bermarkas di negara bagian AS, sampai saat ini amat tegas mengkritik kebijakan Pemerintah AS. Sayang, kritikan itu dianggap angin lalu oleh Pemerintah AS.
Tesis lain AS akan menggempur Iran adalah ingin menghantam dan menumpas kelompok-kelompok Muslim radikal berbasis Syiah konservatif. Iran yang mayoritas berpenduduk Muslim Syiah sudah jelas mempunyai tradisi kuat tentang penghormatan kepada Mullah Velayat Faqih. Sekaliber pe­mimpin pun, akan tunduk pada petuah seorang Mullah. Pre­siden Ahmadinejad nam­paknya menjadi bagian dari kelompok Syiah Konservatif.
Ketidak-nyamanan AS pada kelompok Syiah konservatif selama ini dituangkan melalui  patronase demokratisasi dan keterbukaan. Dan, hal itu menuai keberhasilan seperti yang terjadi tarik ulur internal antara kelompok Mullah kon­servatif dan moderat, di satu sisi menginginkan negara dijalankan atas dasar Islam-demokratis dan moderat yang mampu mengakomodasi keter­bukaan dan demokrasi dalam arti versi Barat, di lain sisi me­nginginkan Islam-demok­rasi-teokratis, yang tentu saja me­nolak mentah-mentah ge­lom­bang demokrasi dan keter­bukaan versi Barat.
Bagi sayap Islam-demokrasi-teokratis seperti Presiden Ahmadinejad, AS dianggap memiliki double standard, di satu pihak seakan-akan AS adalah negara yang meng­inginkan perdamaian dan ingin mempertahankan peradaban, dan demokratisasi mondial seperti yang digambarkan so­siolog Perancis Alexis de Tocqueville dalam Democracy in America, di pihak lain AS de­ngan sikap selalu mencurigai, ketakutan buta, dan keang­kuhannya ingin menyingkirkan Iran dari panggung dunia.
Jika AS tidak sedikit pun me­noleh pada gagasan-gagasan per­damaian, dan kekeuh ingin menginvasi Iran, maka sangat bertentangan dengan logika-logika AS selama ini sebagai negara adidaya yang selalu mengobral janji demok­ratisasi.


Ismatillah A. Nu’ad
Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan, Universitas Paramadina, Jakarta.

0 komentar:

Posting Komentar

 
bocahpancoer - amirhamzah - bahrulhaer - tajularifin,