Kamis, 26 Januari 2012

aku, engkau, kita adalah keluarga

PANCOER.COM- Dikisahkan, paskawafat Sufi Besar Abu Bakar al-Syibli (w. 334 H), konon beliau hadir dalam mimpi sahabatnya. Dalam mimpi itu, al-Syibli yang dijuluki majnun  atau Si Gila, ditanya perihal kehidupannya setelah meninggal. Ia lantas menuturkan dialognya dengan Allah SWT.
“Wahai Abu Bakar al-Syibli, tahukah engkau, atas dasar apa Aku mengampuni dosa-dosa­mu?” tanya Allah SWT.
“Karena kesalehan amalku,” jawabnya.
“Bukan!”
“Karena ketulusan ibadahku.”
“Bukan!”
“Karena hajiku, puasaku dan shalatku.”
“Bukan!”
“Karena hijrahku bersama orang-orang saleh/suci dan karena pencarian ilmu yang aku jalani”.
“Bukan!”

Al-Syibli pun gamang. Ia telah berusaha menjawab atas dasar apa Allah SWT mengampuninya, namun segala amalan terbaik yang telah dipersembahkannya, ternyata tidak menyebabkannya diampuni. Dalam penasarannya, ia menghiba untuk mendapatkan jawaban dari-Nya. 
“Tuhanku, lantas karena apa?” tanya al-Syibli tak mengerti.
“Ingatkah engkau, tatkala tengah berjalan di pedusunan Baghdad, engkau mendapati seekor kucing kecil yang lemah karena kedinginan. Ia meringkuk saking dinginnya. Lantas engkau menaruhnya di kantong yang engkau bawa, karena kasih sayangmu dan untuk melin­dunginya.”
“Benar, wahai Tuhanku.”
“Karena belas kasihmu pada kucing kecil itulah, aku mengasihimu.”
Kisah yang menggetarkan iman ini tercantum dalam Kitab Sya­rah Nashaih al-‘Ibad (hal. 8), karya Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi (lebih populer de­ngan Syeikh Nawawi Banten). Ki­sah serupa terjadi pada Imam Muham­mad al-Ghazali (w. 505 H) dengan lalatnya, yang juga diterangkan dalam kitab yang sama.
Jalur transmisi kisah-kisah ini sangat spiritual, yang karena­nya tidak bisa diukur secara aka­demik. Itu sebabnya, kebe­na­ran kisah-kisah ini masih mem­buka ruang diskusi. Tak heran, jika sebagian menolak dan sebagian lain menerima, bah­kan mengaguminya.
Saya sendiri tidak terlalu pe­duli benar tidaknya kisah itu. Sa­ya lebih memilih teng­gelam untuk men-tadab­bu­ri atau me­re­nungi makna luhur yang ter­selip di baliknya, ke­tim­bang si­buk mendiskusikan statusnya, untuk kemudian saya amalkan dalam keseharian. Toh, yang jelas, kisah itu dicatat oleh Syeikh Nawawi Banten – ulama Nu­santara asal Tanara Banten yang representatif dan diakui keagungannya oleh kalangan muslim baik di dalam maupun luar negeri. Jika beliau saja menerimanya, kenapa saya yang hina dan dangkal keilmu­an­­nya ini menolaknya?
Selain itu, kisah kasih sayang al-Syibli pada kucing kecil di atas juga sejalan dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang di­riwayatkan Imam Ahmad bin Hanbal dalam karyanya, Musnad Ah­mad bin Hanbal. Beliau ber­sabda: “Orang-orang yang me­nyayangi akan disayangi Tuhan Yang Maha Penyayang. Sayangi­lah penduduk bumi, maka kalian akan disayangi penduduk la­ngit.” Sabda ini menunjukkan, ka­sih sayang Allah SWT akan di­berikan kepada siapapun yang menyanyangi, mengasihi dan melindungi makhluk-Nya; baik tetumbuhan, hewan mau­pun (terlebih) manusia.
Pertanyaannya, makna tersirat apa yang bisa kita petik dari ki­sah heroik al-Syibli dengan kucing kecil itu? Pertama, tidak seharusnya kita menyom­bong­kan diri sebagai yang terbaik hanya karena ibadah-ibadah yang telah kita tunaikan. Dalam kisah di atas, ternyata ibadah-ibadah atau ritual-ritual yang dijalani al-Syibli tidak lantas bisa menghadirkan cinta Allah SWT. Sebaliknya, Yang Maha Kasih lebih melirik kepedulian dan ketulusan al-Syibli meno­long kucing kecil yang terancam mati kedinginan. Itu sebabnya, Islam mengajarkan “berlom­ba­lah dalam kebaikan”, baik dalam ritual, sosial-kemasya­rakatan maupun yang lain. Pasalnya, kita tidak pernah tahu, perilaku bagian mana yang membuat Allah SWT mengasihi dan mengampuni kita.
Kedua,  sebagai manusia, tidak se­mestinya kita hanya peduli dan perhatian pada manusia, apalagi hanya pada yang se­agama. Pada makhluk Allah SWT selain manusia, kita juga harus peduli, apalagi kepada manusia. Kepedulian sosial me­mang selayaknya tidak boleh pandang latar belakang; baik agama, status sosial, suku, maupun yang lain. Islam sendiri memandang, kelebihan manusia bukan terletak pada sisi lahi­riah­n­ya, melainkan hati dan pe­rilakunya. Nabi Muhammad SAW bersabda: Tuhan tidak melihat tampang dan fisik kalian, melainkan melihat hati dan perilaku kalian. Itu sebab­nya, beliau mengajarkan, tidak ada kelebihan orang Arab di­banding orang ‘ajam (non-Arab), orang kulit putih diban­ding orang kulit hitam, lelaki dibanding perempuan, tuan dibanding budak, dan begitu seterusnya. Kelebihan terjadi hanya karena ketakwaan dan kemanfaatannya bagi makhluk Allah SWT lainnya.
Dalam Quran Surah al-Hujurat ayat 13, Allah SWT berfirman: “Hai manusia, Aku ciptakan ka­lian dari golongan laki-laki dan perempuan, dan Aku ja­di­kan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kalian saling mengenal. Sesungghnya yang paling mulia diantara kalian adalah yang paling ber­takwa.” Ayat ini dengan tegas me­nunjukkan, kemulian tidak hadir karena kelelakian atau keperempuanan, kesukuan atau kebangsaan, melainkan karena ketakwaan dan implikasi sosial­nya. Syeikh Abdul Kadir Jailani menyatakan, “Kalian mengaku be­­riman, namun keimanan kalian tidak sah selama kalian memiliki makanan berlebih. Lalu, saat ada pengemis di de­pan pintu rumah kalian, kalian mengusirnya karena takut rugi.” (al-Fath al-Rabbani, hal. 140).
Ketiga, ibadah indivual (ritual ke­agamaan yang manfaatnya dirasakan diri sendiri) itu kalah luhur dibanding ibadah sosial (ritual keagamaan yang man­faat­kan dirasakan makhluk lain, semisal yang dilakuan al-Syibli pada kucing kecil). Dalam Islam, dikenal adagium: al-muta’addi afdhal min al-qashir(ibadah yang manfaatnya dirasakan makhluk lain, itu lebih utama ketimbang ibadah yang man­faat­nya dirasakan diri sendiri). Ibadah ritual setiap hari, namun te­tangganya yang miskin, me­larat atau sakit diacuhkan, maka ibadah itu tidak lagi memiliki nilai luhur. 
Pertanyaan besarnya; kenapa pada makhluk Allah SWT – apa pun bentuknya, manusia, bina­tang yang dihormati maupun ya­ng dihina atau tetumbuhan – kita harus mengasihi? Jawa­bannya, antara lain, ditemukan dalam sabda Nabi Muhammad SAW. Dikutip Abdullah bin ‘Alawi al-Haddad da­lam Kitab Risalah al-Mu’awa­nah, beliau bersabda; al-khalqu kulluhum ‘iyalullah wa ahabbu­hum ila Allah anfa’uhum li’iyalihi (seluruh makhluk ada­­lah keluarga Allah SWT; dan yang paling dicintai-Nya ada­l­ah yang paling bermanfaat untuk keluarganya).
Dengan demikian, aku, eng­kau, dan kita, adalah keluarga besar, yang sama-sama “lahir” dari rahim dan kerahiman Tu­han. “Orang tua” kita adalah Dia. Rumah kita adalah dunia. Dan tempat kembali kita setelah tuntas menjalani kehidupan ini adalah pangkuan-Nya. Jika demikian, sebagai keluarga besar, pantaskah kita ber­mu­suhan, sementara kita memiliki orang tua yang sama dan rumah yang satu? Pantaskah dan te­gakah kita membunuh saudara kandung kita sendiri, hanya karena alasan berbeda? Hanya orang picik, kerdil dan telah sirna kasih sayangnya saja yang tega melakukannya. Dan ini tidak layak disebut orang ber­agama yang sesungguhnya.
Jika aku, engkau, dan kita, adalah keluarga, sudah selayak­nya kita saling bahu-membahu membangun keutuhan dan ke­rukunan keluarga besar kita, sehingga “orang tua” kita ba­ng­ga. Jangan sampai “orang tua” kita murka dan menghukum kita, karena perteruan tak ber­ujung antara kita dengan sau­dara-saudara kita. Pun, jika ada saudara kita yang lemah dan membutuhkan uluran tangan; aku, engkau, dan kita, karena keluarga, juga sudah semestinya saling bahu-membahu mem­bantu. Tidak seharusnya, karena saudara kandung kita berbeda status sosial atau aktivitasnya, kita lantas memusuhinya dan seakan-seakan tiada lagi  ikatan kekeluargaan. Tidakkah kita malu dengan Abu Bakar al-Syibli yang begitu peduli pada kucing kecil yang terancam mati kedinginan, padahal ia hanyalah seekor hewan? Bukankah aku, engkau, dan kita, adalah ke­luarga? Wa Allah a’lam.


Nurul H. Maarif
Pengajar di Ponpes Qothrotul Falah Cikulur, Lebak, Banten

0 komentar:

Posting Komentar

 
bocahpancoer - amirhamzah - bahrulhaer - tajularifin,